Urgensi Menimbang Ulang Rencana Pelarangan Ekspor Pasir Silika
Penulis : Jannus TH Siahaan; Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
PRESIDEN RI Joko Widodo (Jokowi) secara tegas berniat akan melarang kegiatan ekspor pasir silika atau juga sering disebut pasir kuarsa.
Menurut beliau, seperti komoditas mineral lainnya, pasir silika akan digunakan sebagai bagian dari pembangunan ekosistem kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV).
Presiden Jokowi menegaskan bahwa dalam perhitungan pemerintah, pasir silika rupanya memiliki sebanyak sekitar 60.000 turunan yang memiliki nilai tambah.
“2027 ekosistem EV harus tuntas. Semua hilirisasi termasuk pasir silika juga akan kita larang ekspor. Kalau pasir silika ini saya sudah hitung turunannya ada 60.000, ada nilai tambah yang besar,” ungkap Presiden Jokowi di Istana Negara, Selasa (30/5/2023).
Rencana yang telah diumumkan Jokowi tersebut bersambut dengan tindakan yang diambil Luhut Binsar Panjaitan dan Kementerian yang ia pimpin Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi.
Baru-baru ini, Luhut diberitakan kembali dari China membawa “oleh-oleh” berupa komitmen dari salah satu produsen mobil listrik terbesar di China, BYP, Co. Ltd untuk membuka pabrik di Indonesia.
Bahkan lebih dari itu, janji Jokowi tersebut sejalan dengan kebijakan kontroversial pemerintah belum lama ini soal subsidi kendaraan listrik.
Dikatakan kontroversi karena dianggap beberapa pejabat justru terkait langsung dengan bisnis kendaraan listrik, mulai dari pejabat yang memiliki perusahaan produsen kendaraan listrik sampai pada pejabat negara yang menjadi ketua salah satu asosiasi kendaraan listrik nasional.
Sayangnya, secara teknis, rencana tersebut justru berlawanan dengan agenda pemerintah sendiri via Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) awal 2023 ini yang disampaikan di hadapan anggota DPR.
Ketika itu, BKPM yang diwakili Deputi Promosi Penanaman Modal BKPM Nurul Ichwan memastikan pasir silika yang merupakan mineral bukan logam belum akan dikenakan larangan ekspor karena belum ada urgensi untuk itu.
Kita bukan pemain terbesar di sektor pasir silika berbeda dengan mineral logam, seperti bauksit, tembaga hingga timah.
Kendati demikian, saat ditemui oleh awak media di DPR RI, pada tanggal 7 Februari 2023, Nurul mengatakan, institusinya terus mendorong peningkatan investasi di sisi manufaktur atau penghiliran pasir silika di sejumlah daerah tambang utama seperti Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan sebagian Kalimantan Timur.
Misalkan, dia mencontohkan ketika itu, baru-baru ini terdapat tiga investor asal China dan Korea Selatan yang telah menunjukkan komitmen investasi yang besar untuk masuk pada penghiliran silika menjadi kaca.
Hanya saja, dia enggan membeberkan besaran komitmen investasi yang sudah dibuat tiga pabrikan asal China dan Korea Selatan tersebut.
Secara kasat mata, motif di balik rencana pelarangan ekspor pasir silika, sebagaimana sesumbar Jokowi, sangatlah baik.
Jokowi menginginkan penambahan nilai dilakukan di dalam negeri atas komoditas-komoditas mentah Indonesia. Namun berkaca pada pengalaman komoditas nikel di Sulawesi, ternyata “evil in the detail”.
Seperti diakui Menteri Investasi/Kepala BKPM belum lama ini, penguasa industri yang mengolah nikel menjadi komoditas bernilai tambah bukanlah Indonesia, tapi investor dan perusahaan yang berasal dari China.
Perusahaan-perusahaan ini tidak saja membawa modal dan teknologi, tapi sebagian besar juga membawa tenaga kerjanya sendiri. Sementara penambang dikuasai mayoritas perusahaan domestik, baik skala kecil maupun besar.
Dengan arsitektur yang demikian, saat pelarangan ekspor nikel diterapkan, penambang kehilangan pasar internasional karena harus menjual hasil tambangnya ke industri domestik yang justru dikuasai oleh asing.
Hal ini diperparah karena pemilik pabrik hanya mau membeli hasil tambang dengan harga yang jauh lebih rendah dengan aturan main yang sebagian besar menguntungkan mereka saja. Posisi tawar penambang sangat rendah. Bagi penambang kecil-menengah bahkan nyaris tidak ada.
Karena itu, penikmat “added value” lebih banyak adalah perusahaan-perusahaan asing ini, yang bekerja sama dengan komprador-komprador nasional. Akibatnya yang terjadi ternyata adalah ketidakadilan baru di lapangan.
Dengan kata lain, niat baik terkait pembentukan ekosistem dan penambahan nilai komoditas sebagaimana diceritakan Jokowi, terjadi tapi penikmatnya bukan mayoritas pengusaha nasional alias salah sasaran.
Hal ini berjalinkelindan dengan ketidakjelasan posisi pengambil kebijakan dan objek kebijakan, karena beberapa pejabat tinggi negara justru disinyalir menjadi bagian komersial dari ekosistem yang ingin dibangun oleh Jokowi.
Walhasil, posisi regulator dan pelaku usaha menjadi tidak berbatas. Kondisi inilah yang membuat publik melihat kebijakan subsidi untuk kendaraan listrik sebagai kebijakan yang aneh, karena sebagian pihak yang berkapasitas sebagai regulator juga sekaligus berkapasitas sebagai pelaku usaha yang ikut menikmati kebijakan dari regulator tersebut.
Nah, hal inilah yang harus dihindari oleh pemerintah di saat berencana melarang ekspor komoditas pasir silika.
Posisi pelaku tambang dan pelaku industri komoditas pasir silika harus dibuat adil dan berimbang terlebih dahulu, sebelum dipaksa untuk berhenti melakukan ekspor.
Dengan lain perkataan, pengalaman di Sulawesi dengan komoditas nikel harus dijadikan pelajaran berharga untuk tidak lagi terjebak ke dalam lubang yang sama.
Jika pemerintah memaksakan pelarangan ekspor pasir silika, maka otomatis penambang akan kehilangan pasar internasional. Risiko lanjutannya, para penambang akan kehilangan kesempatan untuk mengakumulasi modal untuk dijadikan landasan finansial membangun industrinya sendiri.
Di sisi lain, dengan mengecilnya peluang penambang membangun industrinya sendiri, karena kesempatan untuk mendapatkan cuan dari pasar internasional hilang, maka otomatis ruang kosong tersebut akan diisi oleh investor dan perusahaan asing, sebagaimana yang terjadi pada komoditas nikel di Sulawesi.
Untuk itu, diperlukan “rentang waktu” bagi penambang domestik dan pelaku industri dalam negeri untuk menyiapkan ekosistem pasir silika, sebelum benar-benar dilarang diekspor.
Dengan kata lain, pemerintah tak bisa “ujuk-ujuk” melarang ekspor komoditas pasir silika dan kuarsa, sementara tidak ada upaya untuk membuat “level playing field” di level industrinya di satu sisi dan menyiapkan mekanisme penggantian “opportunity lost” yang akan dialami oleh para penambang karena kehilangan pasar internasional.
Artinya, pemerintah harus benar-benar memberdayakan dan menguatkan posisi penambang di satu sisi, dengan memberikan berbagai kemudahan regulasi dan berbagai insentif agar bisa berproduksi secara maksimal dan efisien terlebih dahulu.
Pun pemerintah perlu memberi para penambang kesempatan untuk melakukan akumulasi kapital domestik dari aktifitas ekspor ke pasar global dalam jangka waktu tertentu, sebelum benar-benar melarangnya, lalu memberikan ruang pembiayaan yang fleksibel dengan berbagai kebijakan “financing engineering” dan “financial repression”.
Tujuannya untuk memberdayakan penambang di satu sisi dan meningkatkan kapasitas mereka untuk berekspansi dari penambang menjadi pemain industri sekaligus di sisi lain, agar tidak terjadi relasi yang tidak adil antara para penambang dan para pengolah (industri).
Prinsip ini juga berlaku bagi komoditas pasir silika yang tidak diperuntukan bagi EV. Sebagaimana diketahui, pasir silika bukan saja terkait dengan “microchip” kendaraan listrik, tapi juga terkait dengan banyak produk turunannya, salah satunya sebagai bahan baku inti pembuatan kaca yang menjadi komponen utama panel surya.
Jadi sangat bisa dipahami mengapa dalam enam bulan hingga satu tahun terakhir, permintaan pasir silika dari China ke Indonesia naik cukup tajam.
Ini bukan saja terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Pasalnya, selain produsen kendaraan listrik, China adalah produsen terbesar panel surya di dunia, bahkan menguasai sekitar 80 persen produksi panel surya dunia.
Pendeknya, apapun produk bernilai tambah yang akan digapai oleh pemerintah dari komoditas pasir silika haruslah mempertimbangkan distribusi manfaat yang adil antara penambang dan dunia industri di satu sisi dan antara pelaku usaha domestik dan pelaku usaha asing di sisi lain.
Pun yang tak kalah penting adalah memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil tidak menjadi instrumen manipulatif bagi segerombolan “oligar” domestik dan “komprador-komprador” penjilat investor asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) nasional atas nama kepentingan dangkal mereka sendiri, tapi berlindung di balik narasi “peningkatan nilai tambah” dan narasi pembangunan ekosistem energi berkelanjutan.
Selain itu, ada beberapa hal lainnya yang perlu dipertimbangkan pemerintah.
Pertama, produksi pasir silika Indonesia juga mayoritas digunakan dalam negeri terutama untuk kebutuhan industri kaca, keramik, semen dan konstruksi.
Pada tahun 2020 misalnya, produksi pasir silika Indonesia adalah sebesar 1,87 juta m3 (setara dengan 4,675 juta ton dengan berat jenis 2,5 ton/m3), sementara ekspor berjumlah 744,392 ribu ton atau hanya sekitar 15,9 persen dari total produksi.
Bandingkan dengan batu bara pada tahun yang sama dengan produksi 565,69 juta ton di mana 405 juta ton atau lebih dari 70 persen kita ekspor, menjadikan Indonesia sebagai eksportir batu bara thermal terbesar di dunia.
Kedua, Pasir silika yang diekspor Indonesia sebenarnya telah melalui proses pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah hingga mencapai kadar minimal tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.
Berdasarkan Permendag (Peraturan Menteri Perdagangan ) Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2022, pasir silika yang dibolehkan untuk ekspor adalah dalam bentuk gravel pack sand (kadar ≥ 98,5 persen SiO2, roundness ≥60 persen, spherecity ≥ 70 persen, kelarutan dalam asam khlorida ≤ 1,3 persen, mampu pecah dalam tekanan 5.000 psi, dan fraksi ukuran -30+50 mesh ≤12,8 persen, atau fraksi ukuran -30+70 mesh ≤ 5,2 persen, atau fraksi ukuran -40+70 mesh ≤ 8,7 persen), dalam bentuk pasir cetak (molding sand dengan kadar > 90% SiO2, lolos saringan 30 mesh ≥ 90 persen, clay content ≤ 0,20 persen, kadar air ≤ 1 persen, dan roundness ≥ 50 persen), dalam bentuk low iron silica sand (kadar > 99,5 persen SiO2 dan < 120 ppm Fe2O3), serta dalam bentuk white silica (kadar > 95 persen SiO2, natural whiteness > 85 persen atau melalui uji dikalsinasi pada temperatur 700ºC whiteness > 90 persen, dan lolos saringan 16 mesh).
Ketiga, pengaruh produksi dan ekspor silika Indonesia dalam menentukan perkembangan industri EV dunia sebenarnya tidak terlalu signifikan sejauh ini. Indonesia baru melakukan ekspor pasir silika pada akhir 2020. Sementara industri EV global sudah berkembang jauh sebelum itu.
Pengaruh pasir silika Indonesia juga tidak terlalu signifikan di pasar ekspor global. Pada tahun 2021 misalnya, Indonesia mengekspor sebesar 1.198.252 ton, atau hanya sekitar 3,48 persen dari total nilai ekspor pasir silika dunia, yang didominasi oleh AS (31,2 persen), Australia (12,2 persen), Belgia (7,45 persen).
Karena itu pelarangan ekspor pasir silika hanya akan menguntungkan negara lain penguasa pasar dunia ditambah para pemain kelas menengah-kecil seperti Jerman, Arab Saudi, Malaysia, Mesir, Belanda, China, dan Vietnam karena mereka akan ketiban durian runtuh dengan segera mengambil segmen pasar ekspor Indonesia.
Selanjutnya yang perlu diperhatikan juga adalah pengusaha pasir silika di Indonesia rata-rata adalah orang lokal (daerah), bukan pengusaha kakap kelas nasional.
Hal ini karena nilai ekonomi pasir silika tidaklah sebesar mineral logam (seperti emas, nikel, tembaga, bauksit, dan timah) maupun batu bara, yang menjadi lapangan bermain pada pengusaha nasional dan bahkan asing.
Sehingga perputaran modal dari aktivitas penambangan pasir silika bersifat sangat lokal pada level kabupaten dan provinsi.
Karena pasir silika adalah mineral non logam, maka pajaknya seluruhnya masuk ke daerah. Pelarangan ekspor pasir silika tanpa ada solusi hanya akan merugikan para pengusaha lokal dan daerah penghasil dengan nilai investasi yang sudah pasti signifikan bagi mereka.
Jika benar ingin mendorong hilirisasi pasir silika, maka sebaiknya pemerintah mempercepat perbaikan iklim usaha seperti memastikan kemudahan perizinan, memberi kepastian berusaha, mendorong transparasi dan akuntabilitas termasuk bagi aparat birokrasi, serta pemberantasan korupsi untuk semua sektor yang terkait dengan investasi sumber daya mineral, termasuk pasir silika.
Pemerintah juga harus mendorong percepatan pertumbuhan industri dalam negeri yang menggunakan pasir silika, termasuk industri microchip dan panel surya yang sangat strategis itu, sehingga pasar domestik pasir silika kualitas tinggi Indonesia menjadi lebih terbuka.
Dan terakhir, secara makro, perlu diketahui bahwa Indonesia berani memutuskan untuk melarang ekspor nikel setelah lebih dari 30 tahun smelter nikel berdiri via PT Antam Tbk dan PT Vale Indonesia (dulunya PT Inco).
Penghentian ekspor bauksit juga dilakukan setelah lebih dari 30 tahun Indonesia memproduksi aluminium dari bauksit melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM).
Bahkan hingga hari ini pemerintah belum melarang ekspor tembaga, padahal kegiatan ini telah berlangsung selama lebih dari 40 tahun.
Lalu adilkah kita serta merta berpikir untuk melarang ekspor pasir silika yang bahkan masih seumur jagung ini dan tanpa insentif apa-apa?
Editor : Sandro Gatra
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Urgensi Menimbang Ulang Rencana Pelarangan Ekspor Pasir Silika”, Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2023/06/02/114151926/urgensi-menimbang-ulang-rencana-pelarangan-ekspor-pasir-silika?page=all. Tayang pada tanggal 02 Juni 2023, pkl. 11:41 WIB
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!